Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 09 November 2011

Banjir dan Kota Tangsel

Sejak terjadinya perubahan iklim akibat efek gas rumah kaca beberapa tahun yang lalu menyebabkan es di kutub mencair, dan hal tersebut berimbas pada anomali curah hujan yang semakin besar. Air dalam konteks kehidupan memang menjadi elemen yang krusial, namun jika berlebih akan menciptakan banjir. Terlebih bagi sistem tata kota yang kurang memperhatikan sistem drainase.

Indonesia secara umum memiliki banyak potensi bencana akibat dari perubahan iklim global. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat dalam www.dibi.bnpb.go.id bahwa Indonesia memiliki prosentase terbesar dalam bencana banjir, artinya banjir menjadi bencana serius yang mengancam. Begitu pula dengan Tangerang Selatan yang memiliki titik lokasi rawan banjir di sepanjang beberapa sungai yang mengalir di Kota Tangerang Selatan, di antaranya Kali Angke, Kali Serua, Kali Pasanggrahan, Kali Ciputat dan Kali Kedaung. Dan sekarang musim penghujan sudah tiba, di beberapa titik pun telah terjadi banjir. Kesiapsiagaan pemerintah daerah ini terhadap penanggulangan banjir patut dipertanyakan.

Taken For Granted
Sikap acuh tak acuh warga dan pemerintah terkait bencana banjir perlu diubah. Karena banjir merupakan bencana bukan takdir. Banjir dapat dihindarkan jika pemerintah dan masyarakat peduli dan melangkah untuk berubah. Masyarakat khususnya masih kurang perhatian dalam memelihara lingkungan. Kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarang pun masih menjadi penyebab utama macetnya sistem drainase.

Selama ini banjir dan genangan air dianggap menjadi hal yang biasa. Warga dan pemerintah merasa genangan air adalah hal yang biasa, padahal genangan air di jalan raya, misalnya, berdampak pada kerusakan jalan raya tersebut dan berimbas pada anggaran perbaikan yang senantiasa rutin dilakukan. Padahal inti permasalahan tersebut ada pada sistem drainase, bukan pada jalannya yang rusak. Jika sistem drainase diperbaiki akan menghemat  APBD. APBD yang digelontorkan untuk mengelola masalah banjir ini sebesar Rp. 30 milyar, belum lagi penanganan jalan yang rusak akibat banjir. Bisa dibayangkan betapa banyaknya uang yang dihamburkan hanya untuk mengelola kota kecil ini. Namun kenyataan yang ada justru sebaliknya, uang sudah digelontorkan tapi banjir tetap terjadi akibat lambannya upaya perbaikan.

Adaptasi dan Mitigasi
Perlu ada kesadaran dari penduduk dan pemerintah untuk sama-sama menjaga ‘rumah’. Kesadaran bahwa iklim telah berubah dan menciptakan dampak yang signifikan. Terjadinya ketidakteraturan cuaca dan musim, dan volume air yang bertambah perlu direspon secara bijak untuk menanggulangi bencana.

Adaptasi merupakan respon masyarakat dan pemerintah terkait dampak yang terjadi di lingkungan. Adaptasi menurut Amanda Katili, Ph.D manager The Climate Reality Project Indonesia adalah penyesuaian dengan mengubah pola pembangunan, mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan.

Sedangkan mitigasi dalam siklus bencana, masuk ke dalam tahap pra bencana. Artinya mitigasi merupakan proses pencegahan terjadinya bencana atau upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana.

Mitigasi dengan cara perbaikan fisik struktural, melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik struktural, melalui perundang-undangan dan peningkatan kapasitas sebelum terjadinya bencana. Mitigasi dilakukan sebagai upaya meminimalisir dampak bencana sedangkan adaptasi adalah upaya perubahan yang dilakukan setelah terjadinya bencana sebagai respon aktif dan positif. Adaptasi diaktualisasikan dalam pembangunan jalan yang lebih tinggi dan gorong-gorong air yang lebih besar, misalnya. Serta perubahan pola dan kebiasaan masyarakat seperti membuang sampah pada tempatnya.

Dalam konteks pemerintah adaptasi dapat dilakukan dengan cara kesadaran akan terjadinya bencana, yang kemudian menciptakan rencana tata kelola atau desain kota yang baik dan diimplementasikan serta dievaluasi secara berkelanjutan. Adaptasi ini kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk masyarakat, bukan hanya yang rentan namun juga masyarakat secara luas dan menyeluruh.

Strategi adaptasi ini misalnya dengan kebijakan pembukaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau yang lebih luas untuk daerah resapan air, atau menyediakan taman atap untuk di gedung, seperti rumah sakit, ruko, dan pusat perbelanjaan atau mall, serta menyebarkan informasi dan edukasi terkait hal ini kepada masyarakat untuk merubah paradigma masyarakat dan sama-sama menjaga lingkungan.

Terlebih Tangerang Selatan memiliki 9 situ yang harusnya dapat menampung air secara optimal. Situ di Tangerang Selatan antara lain Situ Pondok Jagung/Rawa Kutup di Serpong,  Parigi di Pondok Aren, Situ Bungur di Ciputat, situ Antak di Ciputat, Situ Rompang di Ciputat Timur, Situ Gintung di Ciputat Timur, Situ Legoso di Ciputat, Situ Pamulang di Pondok Benda, dan Situ Ciledug di Kedaung.  Melihat pada kenyataan ini harusnya banjir bukanlah masalah yang terjadi di kota kecil ini.

Namun kenyataan yang terjadi masih banyak titik rawan banjir di Tangerang Selatan seperti di kompleks Sekretariat Negara Pondok Aren yang dekat dengan aliran kali Angke, Perumahan Maharta Pondok Aren (kali Serua), Taman Mangu Pondok Aren (kali Pesanggrahan), Graha Permai Bintaro (kali Ciputat), Perumahan Bintaro sektor sembilan (kali serua), Kompleks Inhutani (kali Pesanggrahan), Perumahan Pondok Hijau (kali Ciputat), Perumahan Reni Jaya (kali Angke), dan Perumahan Bukit Pamulang Indah (kali Kedaung).

Kenyataan ini disebabkan tata kelola sistem drainase yang kurang baik. Selain itu tidak terawatnya Situ menjadi penyebab utama tidak efektifnya fungsi Situ, terlebih di beberapa Situ dan kali terjadi pendangkalan dan penyempitan, yang berimbas pada berkurangnya kapasitas penampungan dan aliran air.

Penyempitan Situ yang paling parah adalah pada Situ Legoso. Pendangkalan dan penyempitan Situ secara eksplisit nampak dengan bergantinya alih fungsi Situ yang harusnya menampung air menjadi kontrakan dan rumah yang menampung mahasiswa dan penduduk.

Kebijakan dan Perubahan
Lingkungan memerlukan perhatian yang lebih serius setelah pendidikan. Dalam hal ini perlu adanya kebijakan pemerintah yang peduli lingkungan disertai perubahan pola hdup masyarakat menjadi gaya hidup yang ramah lingkungan. Karena perbaikan gorong-gorong dan sistem drainase saja tidaklah cukup.

Kebijakan pemerintah bisa dimulai dengan perluasan daerah ruang terbuka hijau, penambahan water treatment plant yang hanya ada lima menjadi sepuluh atau lebih. Kemudian perlu diperketatnya proyek pembangunan kompleks perumahan, pasar modern atau gedung-gedung bagi para kontraktor dan developer yang tidak mengindahkan analisis dampak lingkungan. Selain pemulihan dan pengembangan Situ dan normalisasi kali atau sungai perlu diupayakan, kebijakan terkait posisi bangunan di bantaran kali serta sekitar Situ pun perlu dipertegas kembali. Karena bangunan yang terlalu dekat dengan kali dan situ merupakan penyebab utama pendangkalan dan penggerusan kali sebagai aliran air. Adanya inovasi pembangunan infrastruktur kota pun diperlukan dalam mengantisipasi banjir. Belajar dari Jepang misalnya, mereka membuat kolam pengendali banjir yang dapat dialihfungsikan sebagai lapangan tenis ketika musim kemarau.

Selain pemerintah, masyarakat pun dapat berperan serta dengan melakukan perubahan gaya hidup seperti
mengimplementasikan program 5R dalam konteks air. Pertama reduce atau mengurangi penggunaan air dengan menggunakannya untuk keperluan yang penting saja agar mereduksi terjadinya pemborosan air bersih dan merawat pipa air yang bocor kemudian batasi penggunaannya hanya 20 liter per hari. Kedua, reuse yaitu menggunakan kembali air yang sudah digunakan untuk keperluan menyiram tanaman misalnya

 Ketiga, recycle atau mendaur ulangnya dengan memproses air yang sudah terpakai agar dapat digunakan kembali. Keempat, recharge seperti dengan membuat sumur resapan yang dapat menampung air dan menggunakannya ketika musim kemarau. Kelima, recovery memperbaiki kualitas air agar dapat digunakan dengan sistem injeksi air dengan mengairi dengan air yang lebih jernih. Selain memanfaatkan air dengan bijak, masyarakat pun perlu merubah kebiasaan membuang sampah sembarangan dan mengurangi produksi sampah dengan meminimalisir penggunaan kemasan makanan dan membawa tas belanja ke pasar.

Dengan demikian, setidaknya banjir dapat diminimalisir dan air yang turun di musim penghujan ini dapat digunakan secara berkelanjutan hingga musim kemarau. Sebelum kota kecil ini berubah menjadi representasi Jakarta dengan masalah yang sama, tangan-tangan tiap penduduk dan pemerintahlah yang dapat mencegahnya.


oleh Dian S. Pertiwi (BLANA)*
*Aktif di Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan RANITA (kembaRA insaNi Ibnu batuTA) UIN JAKARTA dan Forum Studi Media.
Sumber : (Suara Tangsel, 3 November 2011)

ads

Ditulis Oleh : BELANTARA Hari: 00.02 Kategori:

0 comments:

Posting Komentar

 

Blogger Followers