Sejak terjadinya perubahan iklim akibat efek gas rumah kaca beberapa
tahun yang lalu menyebabkan es di kutub mencair, dan hal tersebut
berimbas pada anomali curah hujan yang semakin besar. Air dalam konteks
kehidupan memang menjadi elemen yang krusial, namun jika berlebih akan
menciptakan banjir. Terlebih bagi sistem tata kota yang kurang
memperhatikan sistem drainase.
Indonesia secara umum memiliki
banyak potensi bencana akibat dari perubahan iklim global. BNPB (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat dalam www.dibi.bnpb.go.id
bahwa Indonesia memiliki prosentase terbesar dalam bencana banjir,
artinya banjir menjadi bencana serius yang mengancam. Begitu pula dengan
Tangerang Selatan yang memiliki titik lokasi rawan banjir di sepanjang
beberapa sungai yang mengalir di Kota Tangerang Selatan, di antaranya
Kali Angke, Kali Serua, Kali Pasanggrahan, Kali Ciputat dan Kali
Kedaung. Dan sekarang musim penghujan sudah tiba, di beberapa titik pun
telah terjadi banjir. Kesiapsiagaan pemerintah daerah ini terhadap
penanggulangan banjir patut dipertanyakan.
Taken For Granted
Sikap
acuh tak acuh warga dan pemerintah terkait bencana banjir perlu diubah.
Karena banjir merupakan bencana bukan takdir. Banjir dapat dihindarkan
jika pemerintah dan masyarakat peduli dan melangkah untuk berubah.
Masyarakat khususnya masih kurang perhatian dalam memelihara lingkungan.
Kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarang pun masih
menjadi penyebab utama macetnya sistem drainase.
Selama ini banjir
dan genangan air dianggap menjadi hal yang biasa. Warga dan pemerintah
merasa genangan air adalah hal yang biasa, padahal genangan air di jalan
raya, misalnya, berdampak pada kerusakan jalan raya tersebut dan
berimbas pada anggaran perbaikan yang senantiasa rutin dilakukan.
Padahal inti permasalahan tersebut ada pada sistem drainase, bukan pada
jalannya yang rusak. Jika sistem drainase diperbaiki akan menghemat
APBD. APBD yang digelontorkan untuk mengelola masalah banjir ini sebesar
Rp. 30 milyar, belum lagi penanganan jalan yang rusak akibat banjir.
Bisa dibayangkan betapa banyaknya uang yang dihamburkan hanya untuk
mengelola kota kecil ini. Namun kenyataan yang ada justru sebaliknya,
uang sudah digelontorkan tapi banjir tetap terjadi akibat lambannya
upaya perbaikan.
Adaptasi dan Mitigasi
Perlu
ada kesadaran dari penduduk dan pemerintah untuk sama-sama menjaga
‘rumah’. Kesadaran bahwa iklim telah berubah dan menciptakan dampak yang
signifikan. Terjadinya ketidakteraturan cuaca dan musim, dan volume air
yang bertambah perlu direspon secara bijak untuk menanggulangi bencana.
Adaptasi
merupakan respon masyarakat dan pemerintah terkait dampak yang terjadi
di lingkungan. Adaptasi menurut Amanda Katili, Ph.D manager The Climate Reality Project Indonesia adalah penyesuaian dengan mengubah pola pembangunan, mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan.
Sedangkan
mitigasi dalam siklus bencana, masuk ke dalam tahap pra bencana.
Artinya mitigasi merupakan proses pencegahan terjadinya bencana atau
upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana.
Mitigasi
dengan cara perbaikan fisik struktural, melalui pembuatan
bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik struktural, melalui
perundang-undangan dan peningkatan kapasitas sebelum terjadinya bencana.
Mitigasi dilakukan sebagai upaya meminimalisir dampak bencana sedangkan
adaptasi adalah upaya perubahan yang dilakukan setelah terjadinya
bencana sebagai respon aktif dan positif. Adaptasi diaktualisasikan
dalam pembangunan jalan yang lebih tinggi dan gorong-gorong air yang
lebih besar, misalnya. Serta perubahan pola dan kebiasaan masyarakat
seperti membuang sampah pada tempatnya.
Dalam konteks pemerintah
adaptasi dapat dilakukan dengan cara kesadaran akan terjadinya bencana,
yang kemudian menciptakan rencana tata kelola atau desain kota yang baik
dan diimplementasikan serta dievaluasi secara berkelanjutan. Adaptasi
ini kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk masyarakat,
bukan hanya yang rentan namun juga masyarakat secara luas dan
menyeluruh.
Strategi adaptasi ini misalnya dengan kebijakan
pembukaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau yang lebih luas untuk daerah
resapan air, atau menyediakan taman atap untuk di gedung, seperti rumah
sakit, ruko, dan pusat perbelanjaan atau mall, serta menyebarkan
informasi dan edukasi terkait hal ini kepada masyarakat untuk merubah
paradigma masyarakat dan sama-sama menjaga lingkungan.
Terlebih
Tangerang Selatan memiliki 9 situ yang harusnya dapat menampung air
secara optimal. Situ di Tangerang Selatan antara lain Situ Pondok
Jagung/Rawa Kutup di Serpong, Parigi di Pondok Aren, Situ Bungur di
Ciputat, situ Antak di Ciputat, Situ Rompang di Ciputat Timur, Situ
Gintung di Ciputat Timur, Situ Legoso di Ciputat, Situ Pamulang di
Pondok Benda, dan Situ Ciledug di Kedaung. Melihat pada kenyataan ini
harusnya banjir bukanlah masalah yang terjadi di kota kecil ini.
Namun
kenyataan yang terjadi masih banyak titik rawan banjir di Tangerang
Selatan seperti di kompleks Sekretariat Negara Pondok Aren yang dekat
dengan aliran kali Angke, Perumahan Maharta Pondok Aren (kali Serua),
Taman Mangu Pondok Aren (kali Pesanggrahan), Graha Permai Bintaro (kali
Ciputat), Perumahan Bintaro sektor sembilan (kali serua), Kompleks
Inhutani (kali Pesanggrahan), Perumahan Pondok Hijau (kali Ciputat),
Perumahan Reni Jaya (kali Angke), dan Perumahan Bukit Pamulang Indah
(kali Kedaung).
Kenyataan ini disebabkan tata kelola sistem
drainase yang kurang baik. Selain itu tidak terawatnya Situ menjadi
penyebab utama tidak efektifnya fungsi Situ, terlebih di beberapa Situ
dan kali terjadi pendangkalan dan penyempitan, yang berimbas pada
berkurangnya kapasitas penampungan dan aliran air.
Penyempitan
Situ yang paling parah adalah pada Situ Legoso. Pendangkalan dan
penyempitan Situ secara eksplisit nampak dengan bergantinya alih fungsi
Situ yang harusnya menampung air menjadi kontrakan dan rumah yang
menampung mahasiswa dan penduduk.
Kebijakan dan Perubahan
Lingkungan
memerlukan perhatian yang lebih serius setelah pendidikan. Dalam hal
ini perlu adanya kebijakan pemerintah yang peduli lingkungan disertai
perubahan pola hdup masyarakat menjadi gaya hidup yang ramah lingkungan.
Karena perbaikan gorong-gorong dan sistem drainase saja tidaklah cukup.
Kebijakan pemerintah bisa dimulai dengan perluasan daerah ruang terbuka hijau, penambahan water treatment plant
yang hanya ada lima menjadi sepuluh atau lebih. Kemudian perlu
diperketatnya proyek pembangunan kompleks perumahan, pasar modern atau
gedung-gedung bagi para kontraktor dan developer yang tidak mengindahkan
analisis dampak lingkungan. Selain pemulihan dan pengembangan Situ dan
normalisasi kali atau sungai perlu diupayakan, kebijakan terkait posisi
bangunan di bantaran kali serta sekitar Situ pun perlu dipertegas
kembali. Karena bangunan yang terlalu dekat dengan kali dan situ
merupakan penyebab utama pendangkalan dan penggerusan kali sebagai
aliran air. Adanya inovasi pembangunan infrastruktur kota pun diperlukan
dalam mengantisipasi banjir. Belajar dari Jepang misalnya, mereka
membuat kolam pengendali banjir yang dapat dialihfungsikan sebagai
lapangan tenis ketika musim kemarau.
mengimplementasikan program 5R dalam konteks air. Pertama reduce atau
mengurangi penggunaan air dengan menggunakannya untuk keperluan yang
penting saja agar mereduksi terjadinya pemborosan air bersih dan merawat
pipa air yang bocor kemudian batasi penggunaannya hanya 20 liter per
hari. Kedua, reuse yaitu menggunakan kembali air yang sudah digunakan untuk keperluan menyiram tanaman misalnya.
Ketiga, recycle atau mendaur ulangnya dengan memproses air yang sudah terpakai agar dapat digunakan kembali. Keempat, recharge seperti dengan membuat sumur resapan yang dapat menampung air dan menggunakannya ketika musim kemarau. Kelima, recovery memperbaiki
kualitas air agar dapat digunakan dengan sistem injeksi air dengan
mengairi dengan air yang lebih jernih. Selain memanfaatkan air dengan
bijak, masyarakat pun perlu merubah kebiasaan membuang sampah
sembarangan dan mengurangi produksi sampah dengan meminimalisir
penggunaan kemasan makanan dan membawa tas belanja ke pasar.
Dengan
demikian, setidaknya banjir dapat diminimalisir dan air yang turun di
musim penghujan ini dapat digunakan secara berkelanjutan hingga musim
kemarau. Sebelum kota kecil ini berubah menjadi representasi Jakarta
dengan masalah yang sama, tangan-tangan tiap penduduk dan pemerintahlah
yang dapat mencegahnya.
*Aktif di Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan RANITA (kembaRA insaNi Ibnu batuTA) UIN JAKARTA dan Forum Studi Media.
Sumber : (Suara Tangsel, 3 November 2011)
0 comments:
Posting Komentar