Di Indonesia tak banyak penulis fiksi yang bercerita tentang hutan dalam konteks advokasi. Buku Sarongge karya Tosca Santoso hadir sebagai pengecualian.
Sarongge sejatinya adalah sebuah desa di kaki Gunung Gede, Jawa Barat. Terletak di ketinggian 1500 mdpl, Sarongge masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Di tempat inilah, Karen Hidayati, seorang aktivis lingkungan di organisasi Ksatria Pelangi, bertemu kembali dengan Husin, sahabat lamanya saat mereka kuliah dahulu. Di Sarongge, mereka kembali merajut cerita, dan mulai memupuk cinta.
Karen, seorang wanita pemberani, setengah hidupnya telah ia habiskan bersama Ksatria Pelangi. Menjelajah Kampar hingga Papua untuk melawan kapitalisme yang terus menggerogoti lingkungan dan masyarakat yang hidup darinya. Karen telah mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk membela bumi ini. Sementara Husin, dengan segala kerendahan hatinya, memilih untuk tinggal di Sarongge, berjuang bersama masyarakat kampungnya demi penghidupan yang layak dan hutan yang kembali hijau.
Karen dan Husin. Mereka adalah lambang keberanian dan kesederhanaan. Sajak dan surat menyurat, menjadi pilihan ungkapan cinta mereka ketika jarak memisahkan. Dan tak seorang pun merasa pasti, seperti apa ujung perjalanan itu.
Novel ini tidak hanya menawarkan kisah cinta yang unik, namun juga beragam realita yang dihadapi bumi dewasa ini. Lewat sajak lembut Husin dan surat yang dikirimkan Karen kala mereka saling rindu, Sarongge membuka mata, hati dan telinga kita tentang apa-apa yang telah merenggut keindahan keanekaragaman hayati negeri ini. Perjuangan bukan hanya tentang Karen yang rela bertahan berjam-jam di atas buldoser demi menggagalkan perusakan hutan gambut, atau Husin yang dengan berbagai cara berusaha meyakinkan petani kampungnya untuk beralih ke pertanian organik yang ramah lingkungan. Perjuangan adalah bagaimana Karen dan Husin bertahan dari badai rindu kala mereka terpisah jauh, sambil mewujudkan mimpi atas pilihan mereka masing-masing. Perjuangan, karena satu: cinta. Seperti yang ditulis Husin dalam sebuah sajaknya:
Mencintaimu
adalah liku menyusuri kali di pegunungan
kian lama kian sempit dan sunyi
Tapi tak pernah kulepas harapan
Membaca buku ini, sejenak akan mengalihkan pikiran kita dari hiruk-pikuk perkotaan, menelusuri hutan Sarongge di bawah guguran bunga Ki Hujan. Di antara pepohonan Puspa yang daunnya mulai memerah, di sanalah kita akan meretas janji. Menjaga hutan dan seluruh isinya. Demi kita, demi anak cucu kita. Seperti yang telah dilakukan Karen dan Husin.
“Sebab, hutan yang hilang tak pernah punah sendiri. Ia juga membawa punah beberapa satwa asli, seperti harimau jawa.“ — Bab 1: Sarongge, Tentang hutan di Jawa
“Cinta selalu membawa serta harapan. Dan itu sangat berharga untuk diperjuangkan…” — Bab 1: Sarongge.
Buku ini layak dibaca dan dinikmati bukan hanya kalangan peggiat/aktifis lingkungan tapi juga kisa semua sebagai penduduk bumi yang masih ingin tinggal di dalamnya. Karena hanya melalui buku ini kita akan mengerti bahwa tanpa cinta, bumi dan isinya takkan bertahan lama lagi.
repost from: gpyouthid.tumblr
0 comments:
Posting Komentar